Rabu, 14 Mei 2008

cerpen2

Akhir Perjalanan Seorang Pemulung


OIeh : Desi Sommalia Gustina


Debu-debu berterbangan. Jalanan macet. Aku berdiri di pinggir jalan, tangan kiriku memegang sebuah mangkok plastik. Berulang kali kuketuk kaca mobil sambil menyodorkan mangkok plastik berharap rupiah.

“Kasihani saya, anak saya sakit.” Ratapku.

Tak ada reaksi. Kaca mobil itu tak juga terbuka.

“Tolong saya. Pak! Anak saya harus diobati, saya betul-betul butuh uang.”

Masih sama. Pengendara didalam mobil mewah itu tak menoleh sedikitpun padaku.

Aku hanya mampu menelan ludah saat mobil itu melaju dengan kencang, menyisakan debu yang membuatku terbatuk-batuk. Aku mencoba mengejarnya meski aku tahu aku tak mungkin menghentikan laju mobil itu. Kakiku terus melangkah hingga aku tak sadar telah berjalan sejauh lima kilo meter dari tempat di mana kutinggalkan putriku, di sebuah gubuk reot.

Pagi tadi panas di tubuh Eneng, putri bungsuku, sangat tinggi. Sudah tiga hari Eneng terserang flu dan radang tenggorokan. Aku tak mampu membeli obat karena uang yang kuperoleh seharian mengemis hanya cukup untuk makan. Jika nasib lagi tak berpihak, aku hanya mampu mencukupi kebutuhan perut kedua putriku satu kali sehari.

“Mak mau cari obat buat Eneng. Jangan kemana-mana, jaga adik!” pesanku pada sisulung, Diah, sebelum berangkat.

“Mak, Diah lapar.” Rengek Diah sambil memegangi perutnya.

“Mak akan bawa pulang nasi dan obat buat Eneng.” Janjiku sambil buru-buru pergi.

“Tiiiiit.. .tiiiiiit!” suara klakson mobil mengagetkanku. Hampir saja aku tertabrak.

“Mau mati!” maki pemilik mobil padaku.

Aku tak menyahut. Sebagai gantinya kusodorkan mangkok yang dan tadi tak berisi apa-apa tepat di depan hidung pemuda itu. Matanya menatapku dan kepala sampai ujung kaki. Sementara tangan pemuda berkemeja biru itu merogoh saku kirinya.

Selembar uang ribuan dilemparkannya ke wajahku. Dengan gesit aku menyambarnya. Gegas aku berlari ke sebuah toko obat sambil menggenggam erat-erat uang seribu perak yang diberikan pemuda itu.

Seakarang aku sudah berada pada sebuah apotik. Tapi aku heran kenapa bapak berkumis tebal di hadapanku silih berganti menatap wajahku dan uang yang aku sodorkan.

“Kenapa?” tanyaku.

“Uang kamu kurang. Tidak ada obat seharga seribu rupiah.”

“Cuma uang ini yang saya punya. Dan saya butuh obat ini untuk menyelamatkan nyawa anak saya.” Jelasku.

“Tapi uang kamu tidak cukup.”

“Harga obat ini berapa?”

“Dua puluh ribu.”

“Bagaimana kalau obat ini saya bawa dulu, nanti pasti saya bawa kekurangannya.”

“Di sini tidak bisa hutang.” Katanya tanpa peduli perasaanku.

Rasa putus asa menghinggapiku. Aku menggelongsor. Aku angkat wajah menengadah menatap langit. Aku can Tuhan di sana . Adakah Ia bersmaku? Bathinku meringis.

Sepasang muda-mudi melintas di depanku, tertawa, berengkulan mesra sambil menjinjing sekantong makanan di tangan kirinya. Melihat itu perutku terasa lapar. Dan karena rasa laparlah membuatku tergerak untuk mengejarnya.

“Dik, tolong kasih saya uang. Anak saya sakit keras.” Kataku setelah mampu mensejajari langkah kedua sejoli itu.

Keduanya saling bertatapan sebelum memberiku uang logam.

“Terima kasih. Tapi obat yang ingin saya beli harga nya dua puluh ribu.”

“Maksudnya mau minta tambah?”

Aku mengangguk.

“He, pengemis! Kalau sudah dikasih ya sudah. Jangan pakai acara minta tambah.”

Aku terkesiap.

“Minggir!” katanya sambil berlalu.

Aku mematung menatapi bayang mereka hingga hilang di tikungan jalan.

***

Sekarang aku berlari ke sebuah puskesmas yang kutempuh sekitar dua puluh menit. Puskesmas itu sepi. Hanya ada berberapa orang berpakaian putih-putih yang aku jumpai. Tapi, mereka tampak tak peduli akan kehadiranku.

“Saya mau minta obat, anak saya demam tinggi.” Kataku pada seorang perawat.

“Ya. Silahkan tunggu.” Acuh.

Agak lama aku menunggu.

“Ini obat yang Ibu inginkan.” Ujar lelaki yang kutaksir usianya di atas empat puluh tahun itu padaku.

“Obatnya ada empat macam. Dimakan dua kali sehari.”

Tanganku urung mengambil obat itu ketika kulihat harganya.

“Pak, saya tidak ada uang untuk membayar obat ini, kerja saya cuma memulung dan mengemis.” Katakujujur.

“ Ada kartu miskin?” tanyanya.

“Saya tidak tahu bagaimana cara memperoleh kartu miskin.” Jawabku.

“Maaf, Bu! Kalau tidak punya kartu miskin kami tidak bisa memberikan obat mi secara gratis.”

“Kasihani saya, Pak! Anak saya sudah hampir mati.” Kataku memohon. Tapi, lelaki itu tak peduli. Dia sibuk melayani pasien yang baru datang.

Tak perlu diusir kutinggalkan ruangan itu. Kulalui koridor puskesmas yang tampak lengang dengan hati hampa. Ada perih mengingat sikap lelaki tadi yang begitu mengagungkan sebuah kartu miskin. Padahal dari penampilanku yang kumal seharusnya sudah terbaca. Terbersit tanya di hatiku, apakah itu hanya alasan agar mereka tak melayani gelandangan sepertiku? Entahlah.

Aku berjalan dengan gegas melewati toko-toko yang berjejer rapi di sepanjang jalan Ahmad Yani. Kususun keberanian untuk mampir pada toko yang kulalui berharap uluran tangan mereka. Ada yang memberi tapi lebih banyak yang tidak. Dan ketika kakiku terasa sangat lelah, aku hanya mampu mengumpulkan uang sepuluh ribu rupiah. Aku terduduk lesu di atas trotoar sambil menatap lalu-lalang kendaraan.

Tiba-tiba mataku menangkap sebuah benda. Sebuah dompet berwarna coklat. Cepat kusambar saat kuyakin tidak ada yang melihat. Setelab kubuka ternyata berisi beberapa lembar uang seratus ribu. Uang ini akan kubelikan obat dan beberapa bungkus nasi ramas, bisik hati kecilku Secepat kilat aku berlari ke kedai nasi. Tapi, samara-samar kudengar teriakan

“Kejar. . .kejar!”

“Tangkap!”

Lama kelamaan suara itu semakin dekat. Saat aku menoleh ke belakang segerombolan orang berlari ke arahku.

"Itu pencurinya. Jangan sampai loloss!” suara itu makin jelas.

“Hajar!”

Aku ingin lari tapi mereka sudah mengepungku. Aku mencoba melawan tetapi mereka terlalu banyak. Ketika aku mencoba mencari perlindungan, aku rasakan orang-orang semakin beringas menendangku. Diantara pukulan yang mereka berikan aku ingin menjelaskan bahwa aku bukan pencuri, aku hanya seorang pemulung yang butuh makan dan mengobati anakku. Tapi bibirku kelu, kurasakan darah segar keluar dan hidung dan mulutku. Kemudian aku merasakan ada perih di wajahku dan berlanjut ke seluruh tubuhku. Selanjutnya aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada diriku. Karena yang aku rasakan hanya ada gelap.

Pekanbaru, Jum’at I Februari 2008

2 Komentar:

Pada 23 Oktober 2008 pukul 06.00 , Blogger Sonya Meitarice mengatakan...

assalamu'alaikum

kak desi, cerpen kakak baguus...
cara menyampaikan ceritanya juga sangat khas...
saran sonya kalau kak desi mau, coba deh kakak buat
cerpen ttg cinta atau yang happy ending...
pasti memuaskan...
kalau ada kasih tau sonya ya... =)

 
Pada 29 Oktober 2008 pukul 23.53 , Blogger penulishati mengatakan...

akhirnya bisa baca cerpen desi yg lain...
rain-rajin posting karya ya..

bang Joni

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda