Rabu, 14 Mei 2008

cerpen

Tertuduh


Oleh: Desi Sommalia Gustina

Kupunguti barang-barang yang berserakan di lantai. Buku-buku yang menumpuk di sudut kamar kumasukkan dalam kardus berukuran besar. Ini merupakan kardus yang kelima yang kuisi buku, ditambah tiga kardus berukuran sedang yang berisi barang-barang pecah belah, dan khusus untuk tempat pakaian kusediakan empat cover berukuran besar. Sejenak aku tercenung melihat barang-barangku. Meskipun aku sudah terbiasa pindah kost dengan jumlah barang yang banyak, aku tetap kerepotan membawanya.

Saat tanganku sibuk memasukkan pakaian yang tersusun di lemari ke dalam cover, lamat-lamat aku mendengar kumandang azan ashar. Kuhentikan aktifitasku. Meski badanku teramat lelah tapi aku berkeinginan sholat berjamaah di mesjid Al-Falah sore ini.

Sesampainya di mesjid kuletakkan mukenaku di deretan shaf jamaah perempuan. Namun, saat aku hendak mengambil air wudhu ekor mataku menangkap sesuatu, sebuah handphone tergeletak tak jauh dari mukena yang baru saja kuletakkan.. Kutatap sekeliling, tak ada orang. Kudekati benda yang terlihat berkedip-kedip itu. Lalu, tanpa pikir panjang kuambil handphone itu dan gegas kumasukkan ke dalam saku rokku. Selanjutnya kuayunkan kakiku menuju tempat berwudhu.

Air wudhu yang menempel di wajahku masih belum kering. Aku berniat mengusap wajahku dengan handuk kecil yang sengaja kubawa dari rumah. Saat itu kulihat ada seorang perempuan yang sedang panik. Saatku tanya, perempuan paruh baya itu mengaku kehilangan sebuah handphone. Tanpa kuminta perempuan yang mengenakan jilbab berwarna ungu itu menyebutkan ciri-ciri handphonenya yang raib.

Kurogoh saku rokku, "Apakah handphone ini yang ibu cari?" kataku sambil memperlihatkan sebuah benda berukuran kecil.

Mata perempuan itu membulat, "Kenapa kamu sembunyikan?" katanya dengan suara meninggi.

"Saya hanya berupaya mengamankan." Kataku tak bermaksud membela diri.

"Gara-gara ulah kamu penyakit jantung saya hampir kambuh." Kata perempuan itu tanpa menurunkan volume suaranya.

Aku menarik nafas sesaat, "Kalau saya berniat menyembunyikannya buat apa sekarang saya kembalikan? Saya pikir jika tidak saya simpan, lalu ditemukan oleh orang lain dalam suasana mesjid yang masih sepi, mungkin handphone ibu sudah hilang."

"Di mesjid tidak ada pencuri." Katanya tak mau kalah.

Aku masih ingin memberi penjelasan, tapi dari depan kudengar imam menyuruh agar makmum merapatkan shaf.

***

Hari ini adalah hari pertama aku menempati kamar kostku yang baru. Tempat tinggalku yang sekarang, tak seperti tempat kostku terdahulu yang hanya bertetangga dengan mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari daerah, tempat kostku kali ini dikelilingi oleh rumah-rumah pegawai negeri sipil dan karyawan pada perusahaan swasta yang ada di kota ini. Galibnya kehidupan di kota, masyarakat dilingkungan tempat tinggalku sekarang sangat individualis. Namun aku tetap berusaha ramah dengan para tetangga. Kuberi seulas senyum saat seseorang melintas di jalan depan rumah. Ada yang membalas tapi lebih banyak yang tidak.

Menyadari usahaku untuk lebih akrab dengan para tetangga belum membuahkan hasil, siang ini aku berniat bersilaturrahim kerumah Cik Ros, janda satu anak yang selalu menyahut saat kusapa.

Saat aku menginjakkan kaki di halaman rumah Cik Ros, kulihat pintu samping rumah Cik Ros terbuka. Beberapa detik kemudian mulutku memberi salam dengan suara yang tidak terlalu keras tetapi juga tidak bisa dibilang pelan. Tak ada sahutan. Tapi tiba-­tiba seorang lelaki dewasa meloncat dari jendela tak jauh dari pintu yang terbuka. Melihat itu aku langsung membuat sebuah kesimpulan.

"Maling!"

"Maling!"

"Maling!" teriakku berulang-ulang sambil mengejar lelaki berkaos oblong itu, tapi tetap tak ada yang mendengar.

Di perumahan ini pada siang hari hampir rata-rata penghuninya tak ada di rumah. Kebanyakkan dari mereka meninggalkan rumah pagi-pagi sekali dan baru pulang saat matahari sudah hampir terbenam.

Beberapa saat kemudian lelaki yang berusaha menutupi wajahnya itu terjerembab. Aku mendekatinya. Saat aku berusaha menagkapnya sebuah tendangan mengenai wajahku. Aku merasakan ada yang robek dibagian bibirku. Sekian detik kemudian lelaki yang kutaksir berusia empat puluh tahun itu telah berhasil menghilangkan jejak.

Saat aku mengusap bibirku yang terluka dengan punggung tangan kiriku tiba-tiba sebuah klakson sepeda motor mengagetkanku. Ketika kudongakkan kepala, seraut wajah menyembul dari balik helm.

"Tadi rumah acik dimasuki maling." Laporku saat perempuan itu turun dari sepeda motornya.

Tak ada sahutan.

"Tampaknya maling itu masuk dari pintu samping yang tidak dikunci itu." Lanjutku sambil menunjuk pintu yang masih ternganga.

Mata perempuan itu mengikuti arah jari telunjukku.

"Tapi syukurlah maling itu tak sempat mengambil barang-barang di rumah acik." Kataku lagi.

Perempuan itu hanya mendengus.

"Tapi lain kali acik jangan lupa mengunci pintu samping." Ujarku mengingatkan.

"Biasanya di sini tak ada maling. Kenapa tiba-tiba maling berani datang? Siang­siang pula. Yang lebih mengherankan, kenapa rumah saya didatangi maling tepat saat kamu ada disini? Jangan-jangan kamu malingnya."

Mendengar perkataan perempuan itu wajahku seperti tertampar, ulu hatiku terasa perih, nafasku memburu. Pelan kukepalkan tanganku erat-erat, "Seharusnya saya biarkan maling masuk ke rumah acik." Kataku samba berlalu.

***

Sejak kejadian di halaman rumah Cik Ros hari itu, aku tak berkeinginan lagi beramah tamah dengan tetangga. Aku lebih senang mengahabiskan waktu di kampus dari pada mendekam di lingkungan yang selalu bisu ini. Sering aku di kampus seharian, dan baru pulang ketika malam telah menjemput. Seperti hari ini, aku baru pulang saat tubuhku terasa lelah. Begitu melihat tempat tidur langsung kujatuhkan tubuh. Namun, saat aku akan mematikan lampu, dari tirai jendela yang tipis kulihat ada api yang berkobar-kobar. Cahaya terang yang dipantulkan oleh titik api itu menyerupai api unggun. Untuk memastikan kubuka jendela. Namun pandanganku terhalang oleh sebuah bangunan sehingga aku tak dapat memastikan apakah api yang kulihat itu hanya sisa orang membakar sampah atau memang telah terjadi kebakaran di luar sana. Sesaat aku tak tahu harus melakukan apa. Tetapi ketika kulihat titik api itu makin lama makin besar aku langsung keluar rumah sambil berteriak-teriak.

"Kebakaran...kebakaran" Aku menjerit sambil berlari.

"Api."

"Kebakaran." Kataku dengan suara yang nyaris habis.

Saat aku berada dilokasi kebakaran, kulihat api sudah menghanguskan sepertiga badan rumah yang selama ini selalu ditinggal pemiliknya itu. Beberapa saat kemudian orang-­orang sudah berkumpul tak jauh daru tempatku berdiri

"Dari mana sumber api?" seseorang bertanya padaku saat aku sibuk memukul‑mukul api dengan papan yang kutemukan secara tak sengaja di jalan saat tadi berlari. Sejenak kuhentikan aktifitasku, "Tidak tahu." Jawabku sambil menyeka keringat

"Cari air."

"Hubungi pemadam kebakaran."

Diantara hawa panas yang menyengat kudengar suara-suara itu saling memerintah. Sedangkan api baru benar-benar padam tiga jam kemudian, itu pun saat rumah mewah itu telah berubah menjadi puing-puing.

***

Esoknya. Saat aku sedang siap-siap ke kampus, tiba-tiba pintu rumahku diketuk. Beberapa orang yang tidak kukenal melongok saat pintu terbuka. Melihat seragam yang dikenakan oleh tiga orang berbadan besar itu jantungku langsung berdebar-debar.

“Apakah anda yang bernama Luna?"

Aku mengangguk.

Salah seorang dan mereka kemudian memintaku untuk ikut bersama mereka memberikan keterangan perihal kebakaran yang terjadi tadi malam.

"Kenapa harus saya yang dibawa?" aku berusaha menolak.

"Menurut laporan warga, anda orang pertama yang mengetahui dan berada ditempat kejadian."

"Tapi itu bukan berarti saya yang menyulut api." Kataku marah.

"Di kantor kalau ingin memberikan pembelaan." Sergah ketiga lelaki itu.

Sesaat kemudian kedua tanganku berhasil mereka borgol. Saat aku mencoba memberikan perlawanan, dengan paksa mereka menyeret tubuhku ke dalam mobil. Ketika mobil telah melaju aku terus saja meronta, tetapi sejurus kemudian kurasakan sebuah benda tumpul menghantam kepalaku. Selanjutnya aku tak ingat apa-apa.***

* Untuk mereka yang tak pernah mendapat keadilan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda